Anggota Pansus Hak Angket KPK Semakin Panik dan Kalap


Liputan Harian Berita - Melihat kelakuan anggota DPR RI, sebagai rakyat saya sungguh merasa miris dan juga malu.
Benarkah DPR adalah lembaga yang mewakili rakyat? Sepertinya tidak untuk saat ini.Di saat pemerintahan Pak Jokowi sedang giat kerja membangun kesejahteraan dan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia, mereka sibuk mengkritisi dan bahkan ada yang nyinyir kepada Presiden.
Di saat KPK tengah kerja keras memberantas korupsi, mereka sibuk membuat Pansus Hak Angket KPK.
Di saat Polisi dan TNI berjuang dengan mempertaruhkan nyawa memberantas terorisme dan mencegah ISIS, mereka tak pentingkan pengajuan revisi RUU Anti Terorisme.
Di saat lembaga DPR dikategorikan sebagai lembaga paling korup tahun 2016 oleh Global Corruption Barometer yang dirilis oleh Transparansi International Indonesia, mereka mendadak buta dan tuli untuk mengakui dan mendengar predikat ini.

Salah satu contoh adalah pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK. Rakyat sudah sangat cerdas untuk menilai apa motivasi dari dibentuknya Pansus ini, yang tak lain dan tak bukan adalah untuk melemahkan wewenang KPK.
Mengapa? Karena anggota DPR ibarat cacing kepanasan dengan langkah KPK dalam memberantas korupsi yang banyak melibatkan anggota DPR, apalagi sejak kasus korupsi e-KTP mencuat dan menyeret begitu banyak politisi santun dan vokal yang selama ini tenar di masyarakat dan bahkan termasuk menyeret Ketua DPR Setya Novanto.
Contoh lain adalah saat awal pembentukan Pansus. Partai Amanat Nasional (PAN) yang awalnya menolak keberadaan Pansus ini karena mencium aroma sebagai pelemahan terhadap KPK, tapi tiba-tiba berbalik mendukung dan mengirim wakilnya. Perubahan sikap PAN ini tak lepas dari disebutnya nama Amien Rais, pendiri PAN, oleh Jaksa KPK sebagai salah satu penerima dana korupsi pengadaan alat kesehatan dalam sidang pengadilan dengan terdakwa mantan Menkes Siti Fadilah Supari. Jadi tidak salah jika DPR saya katakan mewakili kepentingan pribadi dan partai.
Jika anggota DPR memang peka dengan dinamika dan keinginan yang berkembang di masyarakat, maka seharusnya Pansus ini tidak perlu ada.
Rakyat lebih percaya dengan kinerja KPK dibanding DPR, jadi untuk apa dibentuk Pansus? Tidak ada manfaat bagi rakyat dan ini semakin memberikan kesan kuat bahwa DPR sebagai lembaga tinggi negara dijadikan alat untuk kepentingan sendiri.
Pansus memang sudah dibentuk oleh mereka yang mengaku wakil rakyat, tapi mereka lupa bahwa rakyat tetap menolak. Rupanya suara-suara penolakan ini tidak dianggap. Bahkan mereka semakin berani saja menggunakan lembaga DPR untuk mengancam KPK dan Polri. Ancaman ini dilontarkan oleh anggota Pansus asal fraksi Partai Golkar yaitu Mukhamad Misbakun dengan mengatakan tidak akan membahas anggaran KPK dan Polri karena KPK menolak memberikan izin terhadap Miryam S. Haryani menghadiri rapat Pansus Angket dan Polri pun menolak untuk menjemput paksa Miryam.
Sungguh sifat yang sangat kekanak-kanakan dengan main ancam tanpa memperdulikan kepentingan yang lebih besar. Tepat sekali kalau dulu Almarhum Gus Dur mengatakan bahwa DPR seperti Taman Kanak-kanak yang jika tidak mendapatkan apa yang diinginkan lantas merajuk dan ngambek. Misbakun sepertinya sudah panik dan kalang kabut dalam upayanya membela koleganya yang terseret-seret kasus korupsi e-KTP, hingga tak bisa lagi berpikir jernih dan tenang.
Bayangkan saja jika ancaman ini dilaksanakan dan mendapat dukungan dari anggota DPR lain, maka kelangsungan operasional KPK dan Polri bisa terganggu.
KPK terganggu operasionalnya hanya memberikan efek koruptor bisa bernafas sedikit lega, walau tak terhitung kerugian negara yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk membangun keadilan sosial; tapi jika Polri yang terganggu ini sangat berbahaya.
 Ini belum memperhitungkan efek periuk nasi keluarga Polri yang sudah pasti terganggu karena tidak ada gaji. Layakkah Misbakun menyandang predikat wakil rakyat? Jauh, sangat jauh dari layak. Bahkan dia tidak pantas sama sekali untuk berada di gedung DPR sebagai wakil rakyat. Pikiran dan hati nuraninya sudah terbutakan oleh kebencian. Dia bukan lagi mewakili rakyat tapi mewakili dirinya, kelompoknya dan partainya. Orang seperti ini jika pileg 2019 nanti masih ada yang memilih, maka sorry to say saya katakan yang memilihnya berarti setipikal dengan dirinya.
 Yah beginilah kondisi DPR, salah satu lembaga tinggi negara yang seharusnya bisa menjaga martabat dan kehormatan, tapi justru terjerembab dalam hal-hal yang bertentangan dengan keinginan rakyat dan tidak memikirkan rakyat. Padahal mereka adalah wakil rakyat, tapi mengapa tidak bisa menangkap aspirasi rakyat?
Mau tahu jawabnya? Yuk kita bergoyang sambil bertanya pada rumput untuk menemukan jawabannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamili Anak Di Bawah Umur Wawan Bawa Kabur Ke Sukabumi

Seorang pria diperkosa bergantian oleh 3 perempuan

Wiranto : saya pastikan FPI Harus Bernasib sama Dengan HTI Segera Di Bubarkan !!!!